Di dalam Qs Al Hujarat, 11 disebutkan bahwa memperolok olok orang
lain termasuk perbuatan zalim, seharusnya mereka tahu, tapi sayang
mereka yang sekolah di sini tidak pernah mau tahu, bagi mereka aku
adalah objek yang bisa memuaskan tawa mereka”.
“Ha.. ha ha.. ayo cepat kunci, kunci pintunya ki”, “Ya tenang..
tenang, beress gak bisa keluar sekarang dia Ben, ha.. ha”, suara ribut
ribut di luar toilet itu benar-benar menggangguku, tapi aku langsung
sadar jangan-jangan, “hai jangan di kunci pintunya berikan kuncinya,
Beni, luki”. Teriakku dari dalam toilet. “Selamat bermalam di toilet Yu,
ha.. ha. haa rasakan dasar cupu”. Sial ternyata ini sudah mereka
rencanakan dari tadi, pantas saja dua kamar toilet yang lain tertutup
sedang toilet yang di
tengah kosong, jadi mereka sudah merencanakannya
dari tadi, pantas kunci pintunya tidak ada, sial. “hai tolong.. tolong
buka pintu nya”. Teriakku putus asa, Rasanya aku ingin menangis, ini
sudah yang kesekian kalinya Beni dan geng nya mengerjai ku, aku masih
ingat dua hari yang lalu saat jam istirahat, mereka ber empat, Beni,
Luki, Adit dan Rino memegangi tubuh ku ramai-ramai, lalu menyeretku
keruangan GSG sekolah kami dan disana mereka hampir menelanjangi ku
tepat di depan anak-anak Cheerleaders, untung waktu itu pak Anto, tukang
kebun di sekolahku ada di dekat situ dan beliau berhasil menggagalkan
rencana mereka, rasanya ingin aku melawan mereka, tapi aku sadar aku
bukan lah tandingan mereka ber empat, dengan bodi ceking, kulit pucat,
tampang culun dengan kaca mata minus, plus sifatku yang pendiam dan kutu
buku, aku adalah sasaran empuk Bullying di sekolah ini. “Tolong..
tolong buka”. teriakku, sambil menarik narik engsel pintu sekuat tenaga,
jelas aku tidak ingin bermalam di toilet ini, apalagi ada rumor, toilet
ini angker kalau malam. “sebentar. Sebentar bapak buka pintunya” sahut
seseorang dengan suara berat dari luar toilet, suara yang cukup kukenal,
yah itu suara pak Anto, “pak tolong buka pintunya pak” sahutku lagi,
“sabar Yu, pak Anto sedang berusaha membuka pintu”, sahut suara seorang
cewek di luar, suara itu bukankah itu? “Lia itu kamu ya?”. Cklekk,
akhirnya Pak Anto berhasil membuka pintu toilet, seketika itu juga aku
menghambur keluar dan menarik napas sedalam dalamya, fuihh rasanya lega
sekali, “Kenapa nak Wahyu sampai terkunci di sini?’ Tanya Pak Anto,
“Beni pak, sahutku, Beni dan temannya yang mengunci saya dari luar”.
“Kamu gak pa-pa kan Yu, emang dasar si Beni itu, harus di laporin ke BP
Yu” sahut Lia. “jangan Ia kamu lupa ya kalo aku ngadu, kamu lupa
kejadian sebulan yang lalu?” sahutku dengan nada cemas, “Sudah nak Wahyu
sekarang pulang saja, sekarang jam sekolah sudah selesai, nak Wahyu
istirahat saja di rumah”. ”terima kasih Pak. Kamu juga Lia terimakasih
udah nolongin aku”.
Kenapa mereka selalu melakukan ini kepadaku, kenapa harus selalu aku,
ini tidak adil, apa mereka pikir karena mereka punya kelebihan lantas
mereka berpikir bisa memperlakukan aku se’enaknya. Pikiran ku terus
berkecamuk, aku semakin resah memikirkan semua, “Wahyu makan dulu, sudah
malam,” teriak ibuku dari luar kamar, tanpa menjawab aku langsung
ngloyor ke luar kamar menuju ruang makan. Di meja makan telah menunggu
ibuku, sebenarnya aku adalah anak bungsu di keluarga ini, tapi kami
sekarang hanya tinggal berdua, sedang Ayah dan kakakku, mereka telah
meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, selama ini ibu lah yang
berjuang untuk memenuhi kebutuhan kami berdua, walaupun masih ada
sedikit bantuan dari tunjangan PNS ayah. “Kamu ada masalah Yu? dari tadi
kelihatan lesu.” Tanya ibu, “Tidak, tidak ada”, sahutku, aku selama ini
memang tidak pernah bercerita pada ibu tentang masalah ku di sekolah,
karena aku tidak ingin semakin membebani beliau, aku bahkan melarang Lia
bercerita tentang Bullying anak-anak sekolah ke pada ibu. “kalau ada
masalah kamu cerita ke ibu”, kata ibu lagi, aku hanya mengganguk malas
sambil melanjutkan makan. Selesai makan malam aku bantu ibu membereskan
meja makan dan kembali ke kamar. Seperti biasa untuk menenangkan
pikiranku aku memainkan Theme for Sonata nya Mozart dengan gitar akustik
milikku, yah inilah pelarianku jika aku lagi suntuk, mainkan gitar
sesuai hati, aku punya dua gitar satu akustik dan satu lagi elektrik,
sebenarnya, keduanya adalah warisan dari Alm kakaku Anton, dia pula yang
mengajari cara bermain gitar dan memaksaku membaca berbagai buku teori
gitar yang awalnya rumit bagiku, aku sangat mengagumi cara dia bermain
gitar, maklum dia memang berbakat, kami bahkan pernah berencana
mendirikan band jika skill gitarku sudah mumpuni, sayang semua itu kini
tinggal mimpi. Aku juga suka memainkan Komposisi Padmasana milik
BucketHead, jika sedang galau. Jari-jari ku mulai menari di atas Fret
gitar dengan cepat sambil ku nikmati iramanya, tak lama Hp ku berbunyi,
“Yu, kamu gk pa2, sabar ya, PR math nya udah selsai?”, tulis Lia di SMS
nya, “santai, aku gk p2. PR nanti aku kerjain habis shlt shubuh, sprt
biasa,Tnx”. Balasku, Lia cewek hitam manis berambut pendek lurus sebahu,
dia adalah teman sekelasku, aku selalu heran, karena saat yang lain
berlomba ingin menertawaiku, dia justru melawan arus dengan tetap setia
menjadi temanku, “Kamu cowok baik”, singkat, tapi itulah jawaban yang
selalu keluar dari mulutnya jika ku mintai alasan kenapa dia mau
berteman denganku. Rasa kantuk mulai menyerang mataku, biasanya setelah
bermain gitar, perasaanku sedikit lega, sehingga aku bisa tidur dengan
tenang.
“Pagi Yu”, Sapa Lia, “Yeah”, sahutku malas, jujur melihat senyum Lia
di pagi hari, rasanya seperti di guyur air es di tengah gurun yang
tandus, karena memang, setiap pagi aku sama sekali tidak punya semangat
untuk melangkahkan kaki ke sekolah, untuk apa, paling nanti waktu
istirahat dan seterusnya akan selalu ada ejekan-ejekan dan perbuatan
anak–anak yang membuatku sakit, aku selalu dalam keadaan tertekan, tapi
aku sadar sekolah sangatlah penting untuk masa depan ku, jadi meski
seperti berada di tengah medan ranjau, aku selalu menguatkan langkah
kaki ku, “udah selesai PR kamu Yu?” Tanya Wondo, teman sebangku ku, dia
juga selalu menyemangati aku, dan selalu berkata Sabar Yu, tapi kami
kurang akrab di luar kelas karena dia punya genk sendiri, dan mayoritas
teman-temannya menolak ku. “Udah Ndo”. “Pagi, anak-anak” ucap pak
waluyo, guru matematika saat memasuki kelas.
“lempar ke sini, cepat lempar kesini”, teriak Irfan, temannya, Anton,
“Ha.. ha.. haa” suara riuh tawa menggema di selurh kantin sekolah ku
yang tidak begitu luas, Irfan adalah anak kelas 2E, salah satu penghobi
Bullying, terhadap ku, dan dia masih berafiliasi dengan genknya Beni,
“Ha.. Ha.. ayo cupu, ambil; sepatu mu kalo bisa,” aku berusaha mengejar
mereka, “kembalikan” teriakku, aku benar-benar merasa seperti se ekor
domba yang di giring kesana kemari oleh anjing – anjing gembala,
bener-benar mirip orang bodoh, GUBBRAAK!!. “sudah cukuppp!!”, “kalian
kembalikan sepatunya sekarang jugaaa!!” Lia tiba-tiba menggebrak meja
dan bertriak sekencang-kencangnya, kontan saja semua yang ada di kantin
terdiam seketika, “sudah puas kalian..!!”, “Puass, mempermainkan orang!!
Irfan kembalikan sepatu Wahyu sekarang.” Teriaknya, akan tetapi Irfan
malah dengan santai melempar sepatu ku ke atas pohon dekat kantin, “Oke,
tuh ambil sendiri, kita juga udah capek, yuk cabut”. “dasar cupu, di
belain cewek lagi, Ha.. haa. haa” ejek Rino yang mengikuti Irfan cabut.
Aku hanya bisa memandangi sepatuku dari bawah pohon, bukan meratapi
sepatuku yang nyangkut di atas pohon tapi meratapi nasibku, “Why?”.
“Kamu nggak pa-pa Yu?” Tanya Lia. “Harusnya aku tadi diam di kelas,
harus nya aku tadi tadi nggak kemana-mana, kenapa aku mau aja kamu ajak
ke kantin.” Aku berusaha melempari sepatuku yang nyangkut di pohon
dengahn batu, tapi percuma, posisnya terlalu tinggi dan aku sendiri
melempar dengan emosi yang nggak karuan. “maafkan aku Yu.” Sesal Lia.
“Wahyu, makan dulu, ibu sudah siapin makanan di meja”, “Ya bu”,sahutku,
“kamu ada masalah Yu, kenapa mukamau muram?”,“gak ada masalah, biasanya
mukaku juga seperti ini”, sahutku sekenanya. “oh ya ini ibu ada sesuatu
buat kamu Yu, mungkin kamu tertarik”, ibu menyodorkan sebuah pamflet
kecil bergambar gitar yang agak kucel kepadaku, “ibu sebenarnya tidak
tahu itu apa, tapi ibu ingat kamu kan suka gitar jadi ibu ambil saja
selebaran itu, kayaknya itu punya orang yang tertinggal di warung ibu
tadi”. Sambil tiduran ku nyalakan tape compo yang di dalamnya ada kaset
album Cristal Planetnya Satriani, penasaran dengan isi pamflet tadi aku
mulai membuka pamflet itu, “Komunitas Gitaris Surabaya Presented
SURABAYA GUITAR COMPETITION 3rd July s/d 10 july 2011”. Judul pamflet
tesebut. Rupanya ini pamflet kompetisi untuk para gitaris di Kota ini,
ku bolak –balik isi pamflet itu, syarat nya tidak terlalu sulit sih,
Cuma membayar biaya pendaftaran dan admin beberapa puluh ribu, mengambil
beberapa perlengkapan di panitia dan sudah pasti, harus jago main
gitar. Tiba –tiba aku merasa sedikit agak aneh, jantungku berdegub,
seolah-olah aku merasa tertantang untuk ikut kompetisi ini, tapi
burur-buru ku urungkan niatku, aku ingat siapa aku ini, aku ini kan
bahan olok-olokan dan ejekan di sekolah, apalagi kalau harus tampil di
atas panggung, di tonton banyak orang lagi, ah nggak, nggak, pikirku,
sambil melipat lagi pamflet itu, aku mulai mengambil gitar elektrik
pasang jack ke gitar efek dan ampli dan larut memainkan gitarku. “Wahyu,
ada temanmu di luar”, tegur ibu, “sebentar bu”, “sudah biar ibu saja
yang mengepel dapur, kamu temuin dulu temanmu sana”. Aku lalu bergegas
ke luar rumah. “pagi Wahyu. sorry ya ganggu kamu, habis aku ada perlu
sich”. Sapa seorang cewek dari luar pagar. “Eh Lia, tumben kamu main ke
rumah, sebentar kubuka dulu pagarnya”. Aku lalu bergegas membukakan
pagar, dalam hati aku merasa sangat senang ada teman yang mau main
kerumah, apa lagi dia adalah Lia, cewek manis yang selama ini sangat
perhatian padaku. “ayo masuk Lia”, “enggak deh, aku duduk diluar aja,
tanx”, kami berdua lalu duduk di teras rumah, jujur saja aku sedikit
gugup meskipun kita sudah sering bersama, tapi itu kan di sekolah, dan
jujur dengan pakaian kasual seperti ini Lia makin manis, tapi aku
berusaha bersikap wajar. “rumah kamu nyaman yach Yu, sejuk banget”. Ucap
Lia sambil melihat suasana sekeliling teras rumahku. “oh terima kasih”,
sahutku pendek, “emang kalau hari mingu begini, kamu ngapain aja Yu?”,
“emhh, paling bantu bersih-bersih rumah, lalu bantu ibu nyiapin
barang-barang yang mau di bawa kewarung”, “wah kamu hebat, aku aja kalau
minggu paling puas-puasin tidur ha.. ha.. ha”. Lia tertawa, sambil
menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, sangat menyenangkan melihat
di ceria. “kamu juga ikut ke warung?”, “oh nggak,aku jaga rumah aja”.
“lho terus kamu di rumah ngapain?”. “paling main gitar sepuasnya”. ”oh
ya kamu bisa main gitar?”,aku menggangguk sambil tesenyum. ”emmhh”, “aku
mau di ajarin, ya, kapan–kapan ajarin aku main gitar yahh, yahh”, Lia
tampak antusias, dan pura-pura memelas padaku. “emmm. Oke”, jawabku
sambil tertawa kecil,yahh aku tak percaya aku bisa tertawa, setelah
sekian lama di penuhi rasa galau dan muram, akhirnya aku bisa merasa
lega dan aku, aku bisa tertawa meskipun itu tawa kecil, “terima kasih
Lia”, batinku. “oh ya Wahyu, aku sebenarnya mau pinjem buku catatan
fisika kamu, kemaren soalnya aku ketinggalan kelas, bolehkan?”. “oh iya
boleh, kebetulan catatanku lengkap”. jawabku. “tanx ya, oh tolong
sekalian kamu beri tanda catatan dari hari selasa sampai jumat ya. sorry
ngrepotin hi.. hi.,biar aku nggak bingung”,”gak masalah, bentar ya
kuambilkan”. Minggu yang cerah itu kami habiskan untuk ngobrol sampai
siang, sebelum akhirnya Lia pamit pulang, “kapan-kapan main lagi ya”,
ucapku. “ok, Yu,” sahutnya singkat sambil tersenyum, tidak aku serius,
aku harap kamu benar-benar mau main lagi ke rumahku. Batinku.
Hari yang sama dengan hari yang lain, pagi yang sama seperti pagi
yang kemaren, seperti biasa semangatku benar benar sulit di ajak
kompromi, gravitasi bumi sepertinya bekerja puluhan kali lebih kuat pada
kakiku, rasanya berat melangkahkan mereka ke sekolah, aku juga berharap
angkutan umum yang aku naiki mogok di jalan atau sekalian kecelakaan,
jadi aku punya alasan untuk absen, tapi semuanya berjalan lancar, toh
akhirnya aku sampai juga di gerbang sekolah, dan sekali lagi aku harus
mensugesti diri. “sekolah ini depan masa depan kamu Wahyu, never say
give up”. “Yu istirahat nanti, ikut aku ke GSG yuk.” Ajak Wondo. “nggak
ndo, aku mau ke perpus nanti,” aku terpaksa berbohong, karena aku
berencana tidak akan kemana-mana, lebih baik aku di dalam kelas seharian
daripada harus berhadapan dengan Beni dan genknya lagi. “kamu nggak
pingin lihat anak Cherleaders yang cantik-cantik itu latihan?”, “nggak
Ndo”. Sahutku singkat, “ya wis, tak tinggal ya!”, sahutnya sambil
bergegas ke luar kelas. “Hai Wahyu”, sahut Lia tiba-tiba, “tanx ya
bukunya kemaren, tapi masih aku pinjam, soalnya belum semua aku salin
hi.. hi”, “oh gak masalah, pelajaran fisika baru hari rabu besok, jadi
kamu kembalikan rabu tahun depan juga gak masalah”, jawabku sambil
tersenyum. “wah kamu nyindir atau bercanda?”, sahutnya. Aku hanya
tersenyum, tapi aku sangat senang, dia adalah salah satu alasan kenapa
aku masih kuat bersekolah di sini, Lia selalu bisa merubah hari ku yang
muram menjadi cerah. “oh ya, ini Yu aku mau balikin ini”, aku melihat
pamflet biru yang sepertinya ku kenal, “dari mana kamu dapat ini?”.
tanyaku, “lho ini kan yang kamu pakai pembatas buku fisika kamu yang aku
pinjam kemaren”, jawab Lia, ah aku baru sadar, saat itu aku memang
terburu buru karena sangat pingin ngobrol lagi dengan Lia di teras
rumah, jadi aku mencari pembatas sedapatnya, ternyata tanpa sadar aku
memakai pamflet itu. “jadi kamu mau ikut kompetisi gitar?”, tanya Lia,
“Ah nggak kok, pamflet itu nemu di jalan”, “tapi kamu kan bisa main
gitar, sebaiknya kamu ikut aja, aku pasti support kamu seratus persen”,
ujarnya bersemangat. “Ya nggak tau, aku kan belum pernah tampil didepan
orang banyak, bisa di ejek habis nanti”, “ayo semangat dong, jangan
nyerah, masa belum perang sudah nyerah, ikut yah.. yah, ikut yah”.
“nggak nggak, sudah jangan di bahas lagi ya,” “KRRINGG, KRINNG:
terdengra bel tanda istirahat berakhir, “nanti kita bahas lagi, pokoknya
aku mau kamu fight,Ok!!”. Aku cuma bisa diam sambil tesenyum, kenapa
dia semangat sekali.
“Halo, assalamualaikum, ini Lia?”, “wa’alaikum sallam, Wahyu ya,
tumben, ada apa?”, sahut suara di seberang. “Tolong kamu jawab jujur”,
“Aduh kok tegang benget, ada apa Yu?”. ”kemaren sore aku di telpon sama
panitia kompetisi gitaris, aku kan tidak pernah daftar?”. “Terus,
memangnya kenapa?”. “Ya aku mau Tanya apa kamu yang… ”. “kalo iya emang
kenapa?”. potongmya sinis. “Kamu ini ada di rumah kan?”. “Ya, lagi
santai, kan tanggal merah”. Segera kututup telpon dan aku pun bergegas
menuju rumah Lia, aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia tega.
Rumah Lia sebenarnya tidak jauh, Cuma berjarak 5 Kilo dari rumahku dan
sebenarnya aku baru satu kali main ke rumahnya, tapi karena rutenya
mudah, sampai sekarang aku masih hapal, cukup naik bemo 1 kali dan turun
pas di depan gerbang perumahannya, dan jarak antara gerbang perumahan
dengan rumahnya sekitar 90an meter, nggak terlalu jauh jadi bisa di
tempuh sambil jalan kaki, sebenarnya ada beberapa abang becak yang
ngetem di situ tapi dari pada bayar lebih baik jalan kaki, lebih irit
pikirku. ”Assalamualaikum”. Yah, aku sekarang ada di depan rumah
berpagar hijau, rumah Lia. “Assalamualakum”. ucapku sekali lagi.
“wa’alaikum sallam”. Balas suara dari dalam rumah, suara nya aku kenal,
sesaat kemudian pintu rumah pun terbuka, dan sosok cewek dengan kaos
pink dan rok biru selutut menyembul dari balik pintu. ”Eh Wahyu”.
Sepertinya dia agak kaget, dia segera berlari kecil kearah pagar, dan
membukakan selot pagar. ”Masuk Yu”. Aku yang agak dongkol sebenarnya
punya rencana memasang wajah masam plus bĂȘte di depannya, tapi tiba tiba
buyar setelah melihatnya, Lia memang manis, sangat sangat manis kalau
pakai baju kasual. “Mau duduk di dalam atau di teras?”. “Di teras aja
Ia’, sejuk”, “sebentar ya kuambilkan minum, mau minum apa Yu, sirup
atau… ”. “gak usah repot, air putih saja”, potong ku. Sesaat kemudian
Lia muncul dengan dua gelas dan sebotol air dingin. “Tumben ada cowok
cupu berani apel kerumah cewek hi.. hi”. guraunya. “ya, puas.. puas”.
sahutku sambil tersenyum. “Langsung saja, sebenarnya aku mau tanya,
kenapa daftarin aku ke kompetisi itu, aku sudah bilang aku nggak mau”.
“memang kenapa Yu? kamu takut?”. ”ya bukannya begitu, tapi.. ”. “Tapi
apa Yu, kamu minder karena belum pernah tampil didepan orang banyak?”.
potong nya. “Atau kamu takut karena kamu adalah bahan ejekan di sekolah,
iya?”. ”Tung.. tunggu dulu Ia’, aku kesini mau protes, tapi kenapa kok
kamu yang nyolot? protesku. “Ya biarin, sesekali kamu perlu di marahin”.
“kamu tau Yu, jika kamu terus menerus menuruti rasa minder kamu, kamu
tidak akan berkembang Yu”. “Kamu tidak boleh terus terusan sembunyi
dengan alasan sering di ejek lah, belum pengalamanlah, kamu harus berani
Yu”. “Jika kamu ingin di akui orang lain kamu harus tunjukan pada
mereka, tunjukkan kalau kamu pantas di hargai dan di hormati”. Sahutnya
lagi, dan entah kenapa aku Cuma bisa diam tertunduk seperti narapidana
teroris yang hanya diam mendengar dakwaan hakim di pengadilan. “Kamu
tahu nggak, kenapa selama ini aku tetap ingin berteman denganmu dan
tidak ikut ikutan yang lain?”. tiba-tiba nada bicara Lia menurun dan dia
mnundukkan muka, tapi justru pertanyaan inilah yang sangat ingin aku
dengar darinya, sudah sangat lama sekali malah aku menuggu jawabannya.
“Kenapa?”. tanyaku. penasaran. “Karena aku sangat kagum dengan kamu Yu”.
“Kagum?”. Tanyaku heran. “Yah”, tiba-tiba dia menatapku dengan sorot
mata tajam, seolah olah sangat ingin meyakinkanku terhadap suatu hal.
“Karena menurutku kamu adalah seorang yang luar biasa, kamu kuat Wahyu”.
Aku semakin tidak mengerti maksud ucapannya. “kamu tahu Wahyu, kamu
adalah objek bullying di sekolah kita, kamu sering di ejek dan di
kerjain habis-habisan, tapi kamu masih bisa bertahan”, “kamu masih kuat
Yu, buktinya kamu masih tetap datang kesekolah, dan kamu tetap menjadi
sepuluh besar di kelas kita, sepertinya kamu sama sekali tidak
terpengaruh dengan semua itu”. Aku hanya menunduk mendengar
pengakuannya, Lia kagum padaku!!. “Aku sering ngebayangin, seandainya
aku adalah kamu, aku sudah tidak tahu lagi apa aku sanggup menghadapi
semua nya?”. “Jangankan prestasi bagus, mungkin aku malah tidak berani
ke sekolah, tidak, tidak bukan itu saja, mungkin aku bahkan tidak berani
ke luar rumah dan Cuma bisa menangis seharian di kamar ku”. “Aku sering
berpikir kalau kamu itu luar biasa Wahyu, Jujur kamu adalah sumber
inspirasi ku”. “Aku?”. Sahutku lirih. “Yah, kamu, kamu itu sumber
semangatku, tiap kali aku malas belajar atau malas ke sekolah, aku
selalu berkata kepada diriku, “Ayo Lia kamu pasti bisa, Wahyu aja bisa,
masa kamu nggak”, gitu”. Kami pun tertawa bersama mendengar pengakuannya
itu, lalu sama- sama terdiam selama beberapa saat. “Tapi kamu harus tau
Lia, yang ikut kompetisi itu pasti para gitaris yang berpengalaman”.
“Wahyu, Please, jangan kecewain aku, jangan rusak image yang aku bangun
tentang dirimu, aku mau kamu tetap semangat”. Aku masih terdiam. “Aku
ingin Wahyu yang selama ini menjadi sumber semangatku adalah orang yang
kuat dan tidak mudah menyerah, Ok”. Ucapnya lagi berusaha meyakinkanku.
Aku berpikir sekali lagi, mungkin dia ada benarnya juga, kenapa aku
harus takut? mungkin sudah saatnya bagi ku untuk berontak dan melakukan
sebuah pembuktian, bahwa eksistensiku layak di akui, aku layak… layakk
di akui. Sepanjang sore aku hanya tiduran di kamar, di temani alunan
musik Steve Vai yang keluar dari tape compo tua milikku, entah sudah
berapa kali ku bolak balik pamflet kecil warna biru itu, 3 July itu kan
tiga hari lagi, apa aku yakin, aku bangkit dari tidur dan kuambil gitar
electric warna hitam merk Ibanez warisan dari kakaku, kuperiksa satu
persatu mulai dari tremolo, pickup, sampai mur baut yang ada di body
gitar itu, masih bagus pikirku, tuningnya juga pas, tampaknya gitar ini
siap tempur, gitar itu aku dekap sambil tiduran, sementara pikiranku
sibuk meyakinkan diri sendiri, membulatkan tekad, sampai aku terlelap.
Wah ramai juga, pikirku, sepulang dari sekolah, Lia memang sengaja
mengajakku untuk langsung menuju ke Mall tempat pendaftaran kompetisi
gitaris, semua peserta kompetisi memang di wajibkan untuk registrasi
ulang tetang keikutsertaan mereka di kompetisi tersebut dan juga untuk
mengambil perlengkapan untuk kompetisi dan pemberitahuan syarat-syarat
bagi peserta kompetisi. “Namanya siapa mas?”. Tanya seorang pria di
balik meja pendaftaran, “Wahyu laksana”. Jawabku. “kwitansi pendaftaran
nya di bawa mas?”. Tanya nya lagi. “Ini mas”. Lia menyodorkan secarik
kertas tanda pembayaran kearah pria itu. “kamu dapat apa aja Yu?” Tanya
Lia, tapi aku tidak menjawab nya karena masih sibuk dengan form
registrasi yang harus ku isi. Setelah proses registrasi, Lia mengajakku
mampir di salah satu resto cepat saji di Mall itu. “Lia aku gak bawa
duit banyak, sebaiknya kita jangan makan di sini, pasti mahal nih”.
“Sudah tenang aku yang traktir”. Jawab nya santai. ”maaf ya sudah
ngrepoti, jadi berapa biaya pendaftarannnya? nanti aku ganti”. ”Kan
sudah kubilang aku yang traktir, pokoknya kamu santai aja”. “Tapi aku
pasti akan membayar hutangku sama kamu”. Sahutku lagi. “emmh kamu tuh
ya, ok, kalau kamu mau bayar hutang berarti kamu harus tampil bagus saat
tampil nanti, Deal!!”. “gitu yah, he.. he.. ok, deal!”. “Oh ya, tadi
pertanyaanku belum dijawab, tadi dapat apa aja?”. “Oh, ini ada kaus,
terus tanda peserta, sama 2 buah CD, yang satu isinya lagu dari 5
gitaris yang harus ku pilih salah satu, sedang kan CD satunya lagi, lagu
instrument bebas, untuk di improve peserta masing-masing”. ”ehm. aku
yakin kamu pasti bisa, Semangat!!”. Ucapnya sambil mengepalkan tangan
mirip orang demo, kami berdua pun tertawa bersama. “Nanti malam aku mau
ngomong ke Ibu, beliau kan belum tahu, sekalian minta doanya”. “Hi..
hi.. maaf Yu, tapi sebenarnya ibu kamu itu sudah tau koq”. ”Lho tau dari
mana?”. Tanya ku heran. ”aku”, sahutnya singkat. ”jadi ceritanya,
kemaren lusa aku sempat telpon kamu, tapi berhubung Hp kamu gak
diangkat, jadi aku telpon kerumah kamu”. Lia memotong penbicaraannya dan
menyedot minuman ringan dingin di hadapannya sambil makan kentang
goreng,”Jadi aku telpon nomor rumah kamu dan yang ngangkat ternyata ibu
kamu”. Terus”. sahutku. “Ya katanya kamu tidur jadi aku ngobrol sama ibu
kamu, dan dari situ aku tanya-tanya tentang hobi gitar kamu”, “Tanya
apa aja?”, “ya gitu deh, intinya ibu kamu bilang kamu jago banget, jadi
sekalian aku minta pendapat ibu kalo aku daftarin aja kamu ikut
kompetyisi gitar”. “terus, ibu ku bilang apa?”. Tanya ku penasaran. “Yah
intinya beliau support banget”. “Heh gitu yah, konspirasi”. Sahutku.
“Jadi kamu nanti tinggal minta doanya aja Yu”. Kami terdiam sejenak, tak
terasa hidangan fast food di depan kami sudah tandas. “oh ya Ia’, nanti
sebelum pulang aku mampir dulu ke rumahmu, mau pinjem CD player,
bolehkan?”. “Boleh.. boleh.. tapi jangan di rusakin yach, he.. he”. Kami
berdua pun meninggalkan Mall itu, jujur dalam hati aku benar-benar
senang, mungkin hari ini adalah hari yang terindah, setidaknya dari
hari-hari yang telah kulalui, terlepas tadi pagi aku sempat jadi korban
si Beni dan genknya lagi plus ocehan sinis dari Reni dan teman-teman
ceweknya, tapi aku sudah tidak peduli lagi pada mereka semua, benakku
kini di sibukkan pada sesuatu yang akan kuhadapi dua hari lagi, yah, dua
hari lagi aku akan menghadapi salah satu tantangan besar dalam hidupku,
lagi pula sekarang aku juga sedang sibuk menerka-nerka kejadian yang
baru saja kualami, kami makan berdua, aku dan Lia, apakah tadi itu
kencan?.
“DRRRTT, DRRRRT”. Hp ku bergetar, “Hai, Wahyu, god luck ya, aku ada d
sini ma Ibu, support k’mu, oh ya, kmren aku jga ksh info k tmn2 skul
kita, jadi bnyak yg datng, ada jga Beni & the genk, kyknya mrka gk
prcaya, tpi it’s ok, do the best you can, semangattt!!”. Ternyata sms
dari Lia. Segera aku menghela nafas panjang, jadi Lia kasih tau ke
anak-anak sekolah, termasuk Beni dan genk nya, tiba-tiba bibirku
tersenyum simpul, meski jantung ku berdegup kencang, sekali lagi aku
menghela nafas dan melakukan senam jari untuk pemanasan dan mengilangkan
rasa nervous, “Tenang Wahyu, relaxs, kamu pasti bisa, I’am the one”.
Aku mencoba menenangkan pikiran ku, jarakku dengan panggung tinggal dua
nomor lagi, sesuai dengan nomor urutku 15, riuh tepuk tangan penonton,
tawa, ejekan dan senyum sinis terhadap peserta-peserta yang nervous atau
yang tempo nya gak pas dan tuning fals semakin ramai tedengar, aku tahu
mungkin saja jari ku terpleset, tapi aku yakin itu tidak akan terjadi,
komposisi Blue milik Yngwie J Malmstein yang jadi salah satu lagu wajib,
adalah salah satu lagu yang paling sering aku ulik dan aku kuasai, aku
sudah hapal seratus persen diluar kepala, sedang untuk komposisi
improvisasi, aku tinggal memainkan tekhnik tapping dan pull of milik
Edie Van Hellen dengan Harmonic scale, seperti yang sudah aku latih
kemaren dan hasilnya keren, yeah ini simple dan mudah, harusnya aku
bisa, Demi Ibu yang selama ini selalu ikhlas menjadi tulang punggung
keluarga, juga demi Alm Ayah dan kak Anto, seandainya mereka ada disini,
tapi aku yakin mereka pasti tahu bahwa aku ada disini, bukankah orang
yang adadi alam sana bisa melihat kita yang masih hidup, aku Yakin
mereka berdua terutama kak Anto sekarang pasti tersenyum bangga melihat
adiknya, kak aku disini dengan membawa gitar kesayanganmu doa kan aku,
juga Lia, selama ini dia yang membuat hariku bersinar, ini semua aku
lakukan juga demi dia, teman setiaku yang menganggapku sosok kuat dan
istimewa di matanya, atau mungkin kujadikan saja dia teman sehidup
sematiku. Hemm… aku pun tersenyum, “ide bagus”. Terima kasih Lia. Dan
yang lebih penting adalah aku ingin menunjukkan pada orang-orang yang
selama ini menganggapku hanya sebagai lelucon dan pecundang, hanya
menjadikanku objek ejekan dan bahan candaan mereka, mungkin hanya ini
cara yang paling pas bagiku untuk melakukan perlawanan pada mereka
semua, aku akan membuat mereka mengakui existensi diriku, yah, dengan
skill dan bakat bermain gitar, karena memang hanya ini yang ku punya.
Selanjutnya sang MC pun berteriak lantang. “Untuk peserta berikutnya
dengan nomer urut 15. Wahyu Laksana, silakan naik ke stage, give the
best you can yeaahh…”. Sejenak kemudian riuh tepuk penonton pun
terdengar, “Ayoo Wahyu, My guitar heerooo..!!”. sayup sayup aku mengenal
suara teriakan itu, Lia.. Dan akupun melangkah kan kaki dengan
keyakinan penuh kearah Stage. Hem., tiba-tiba aku teringat film “Ksatria
Bergitarnya” Rhoma Irama, dia membawa gitar ke mana-mana sambil naik
kuda, ehhmm, hey!! aku dan skill gitarku lebih keren seratus kali dari
orang itu “Ok Wahyu this is it, time to rock‘em up!!” gumamku.
0 komentar:
Posting Komentar